Monday, 25 August 2008

Belum Mandi

Hari itu saya visit ke rumah nenek saya, kebetulan beliau baru saja opname dan kondisinya masih sangat lemah. Tanpa terasa langit beranjak petang dan saya yang tidak membawa baju ganti, malas mandi. Kalaupun cuci muka pun saya tidak membawa facial foam yang biasa saya pakai, jadi saya bertahan tidak mandi (hanya cuci kaki-tangan hehe) sampai malam menjelang. Saya juga tidak tahu kapan saya akan pulang karena nyokap nggak menunjukkan tanda-tanda mengajak pulang :[

Sekitar pukul 8 malam, ketiga (dari 5) anak perempuan eyang saya itu berkumpul di kamarnya sambil mijetin tangan ibunya. Nyokap selonjoran di sebelah kanan dan bude saya selonjoran di sisi kiri eyang saya yang berbaring di kasur, saya sendiri duduk bersila sambil mijetin kakinya *bude saya satu lagi baca koran*.

Setahun terakhir ini, eyang saya mengalami kepikunan dan semenjak opname di rumah sakit beberapa waktu lalu membuatnya semakin parah. Lain halnya dengan yang satu ini. Mungkin karena sudah mengendap di dalam LTM*-nya, sehingga ketika hari menjelang sore, setiap kali ada cucu maupun cicitnya yang main ke rumah pasti disuruhnya untuk mandi. Hal itulah yang terjadi pada saya hari itu.

Eyang: "Jam piro saiki?" --Jam berapa sekarang?
Bude saya: "Jam 8"
Eyang: "Wis bengi lho ya...Ayo siramo, Mbak!" --Sudah malam lho ya...Ayo mandi, Mbak!

Mbak di situ maksudnya adalah saya, karena saya adalah satu-satunya cucu berpredikat 'mbak' dalam keluarga. Bude saya dan Nyokap pun tertawa terpingkal-pingkal *saya juga!* mendengarnya. Mengingat satu-satunya orang yang belum mandi adalah moi :]

Bude saya: "Mbah punya radar siapa yang belum mandi." *sambil terkikik geli*
Eyang: "Ayo ndang siram!" --Ayo lekas mandi!
Bude & Nyokap: "Iya, wis budhal areke." --Iya, sudah berangkat anaknya.
Eyang: "Budhal nangdi?" --Berangkat ke mana? *udah pikun sih!*
Nyokap: "Ya nang kamar mandi." --Ya ke kamar mandi.

Eyang pun manggut-manggut mendengar jawaban nyokap, sementara saya masih duduk manis di tempat--mijetin kaki eyang :] Jawaban melegakan memang diperuntukkan bagi eyang saya saat ini, mengingat eyang saya sudah pikun.

Tak lama kemudian...

Eyang: "Siramo lak enak, Mbak..." --Mandi kan enak, Mbak...
Bude saya: "Lho temenan." --Lho beneran. *maksudnya, membenarkan perkataan bude saya tentang eyang saya yang punya radar itu*

Berikutnya saya berdiri karena tak kuat menahan tawa, bude dan nyokap pun tertawa ngakak. Kenapa hanya saya yang disuruh mandi?? *sampe 2 kali* kalaupun emang bau *nggak layau!* saya kan duduknya jauh. Lagipula paginya saya udah semprot pake Paris Dream, so pastinya masih wangi donk! :D

Agak lama setelah ditinggal ngobrol ngalur-ngidul, eyang saya bersuara kembali.

Eyang: "Wis ayo, Het, adhuso!" --Sudah ayo, Het, pergi mandi! *Het itu maksudnya penggalan nama nyokap*
Nyokap: "Wis, Bu." --Sudah, Bu.
Bude & saya: "Hiyaa...kena juga!" *ngakak sepuasnya!*
Eyang: "Eh wis? Ya wis, alhamdulillah." --Eh, sudah? Ya sudah, alhamdulillah.

Beberapa menit kemudian...

Eyang: "Ayo, Mbak, ndang siram!" --Ayo, Mbak, lekas mandi!
Saya: "Hmmffh...Wis, Mbah. Ayuk iku lho durung." --Udah, Mbah. Ayuk itu lho belum.

Ayuk itu adalah panggilan saya ke bude saya, penggalan dari namanya :]
Saya sengaja melempar 'umpan' ke bude saya yang notabene udah mandi, just kidding yanno. Soalnya dari tadi saya mulu yang dijadiin objek *tapi emang bener saya yang belum mandi*. Sayangnya, eyang saya percaya-percaya aja tuh ketika bude saya bilang dia udah mandi. Crap!

Mendadak eyang saya minta duduk, sehingga nyokap dan bude pun membantunya bangun. Lalu bude saya yang satu lagi datang menjenguk ibunya, bersama pakde saya. Di tengah bude saya yang baru datang dan bude saya yang bernama Ayuk tadi asyik ngobrol tentang cincin yang baru dibeli, eyang saya angkat bicara.

Eyang: "Wis ayo, Yuk, ndang adhus!" --Sudah ayo, Yuk, lekas mandi!

YES!! Akhirnya bude saya kena juga ahaha. Kami semua yang ada di kamar itu pun tertawa mendengarnya, termasuk bude dan pakde saya yang baru datang *meski nggak tahu maksudnya apa*

Bude saya: "Wis mari, Bu." --Sudah selesai, Bu.
Eyang: "Lha kok ngguya-ngguyu ae." --Tapi kok ketawa-ketawa aja.
Bude saya: "Mbahe Sara..." --Mbahnya Sara... *sambil geleng-geleng dan ketawa*

Kemudian bude saya itu menjelaskan kepada bude saya yang baru datang apa permasalahannya sampe kita nggak kayak nungguin orang sakit begini *ngakak mulu* dan bude saya yang baru datang tadi malah nanya ke saya, "Lho tapi kamu emang belum mandi?" dengan muka innocent *co cwit!* saya geleng-geleng kepala sambil cengar-cengir bilang, "Belum."

Tak lama kemudian, nyokap ngajakin pulang *akhirnya!*. Saya pun mencium tangan eyang saya yang sudah kembali berbaring karena sudah lelah duduk dan beliau berkata, "Yo wis ndang muliho, adhuso, aku gak kuat ambune." --Ya sudah lekas pulang, lekas mandi, aku nggak tahan baunya. Sontak orang sekamar ngakak mendengarnya, di mana objek perkataan eyang saya tadi adalah gue--cucunya yang paling keren sedunia ini *hehe*. Berdalih membela diri, saya pun berkata meski saya tahu eyang saya mah bodo amat siapa itu Paris Hilton, "Eehhh wangi rek! Wis tak semprot Paris Hilton kok." --Eehhh wangi rek! Udah saya semprot Paris Hilton kok.

Dan...saya pun pulang ke rumah saya yang homey dan setelah cuci muka *akhirnya* saya pun merasakan sensasi kayak bintang iklan facial foam yang saya pake; puber! Berikutnya saya sudah berlayar ke pulau kapuk dan besok paginya saya menulis blog ini :D

* Long Term Memory: tempat penyimpanan memori ingatan kita yang paling dalam

Hari Perpisahan

Kalau ingat hari perpisahan jaman sekolah dulu *kayak uda nenek-nenek aja ni ngomongnya*, saya pasti berasa kangeeeeeeeen banget sama temen-temen jaman bahelula alias temen lama. Hari perpisahan paling berkesan buat saya adalah hari-hari perpisahan jaman SD. Kenapa saya bilang hari-hari perpisahan? karena saya selalu tampil di hari perpisahan kakak kelas saya sejak kelas 1, saya tidak begitu ingat keseluruhan performance yang saya lakukan. Yahh paling-paling juga nari apa gitu. Saya hanya berhasil mengingat performance saya ketika kelas 4 (tari jaranan) dan kelas 5 (nggak tau nama tariannya). Itupun samar-samar :] Saya berhenti jadi pengisi acara ketika hari perpisahan buat saya tiba, wisuda kelulusan saya yang sesungguhnya.

Momen yang paling saya benci adalah perpisahan, because it's always end up with I'm crying or my friends gone. Untungnya waktu SMA saya tidak datang ke hari perpisahan (karena harus belajar buat tes PMDK keesokan harinya), so nobody saw me cry ;] Tapi hari perpisahan yang saya datangi beberapa saat yang lalu tidak membuat saya kehilangan satupun teman. Well, yeah, saya sempat ingin (underlined!) menangis saking harunya, saya jadi terbawa suasana; merasakan perasaan bangga, bahagia sekaligus sedih karena tidak akan bertemu lagi dengan teman-teman dan guru-guru. Saya datang ke acara wisuda kakak kelas adik saya yang masih SD. Saya bahkan nyaris ikutan nangis haru ketika wisudawan menerima medali dan piagam kelulusan kemudian bersalaman dengan guru-guru pengajar yang sudah setia menemani selama masa-masa menjelang ujian.

Acara hiburannya kurang lebih masih sama seperti tahun saya dulu (dan sebelumnya); tari-tarian daerah dengan kostum warna-warni yang mencolok plus lipstik merah menyala, namun bedanya kali ini ada tari-tarian yang penarinya cowok. Jaman saya dulu nyaris semua pengisi acara adalah cewek, sudah emansipasi rupanya :] Ada juga penampilan qasidah yang merupakan bagian dari ekstakurikuler unggulan sekolah dan permainan angklung. Ada juga permainan gamelan lengkap dengan sindennya, waktu melihat mereka bersiap saya berbisik pada nyokap di sebelah, "Ma, mirip sinden gosip extravaganza." dan nyokap pun tergelak, "Ho-oh, mirip. Yang satu Tike, yang satu TJ." Karena saya tidak membawa kacamata, jadi saya tidak bisa melihat jelas bagaimana rupa sinden-sinden cilik yang duduk manis dengan kaki terlipat ke belakang itu. Dari pandangan kabur saya sih, dua cewek itu: satunya agak gendut, satunya kurusan. Bener kata nyokap, mirip banget! Kurang lengkap, nggak ada yang jadi Tora Sudiro :D

Oke, penasaran apa yang saya lakukan -- ato lebih tepatnya adik saya lakukan di wisuda kakak kelasnya? Well, adik saya tampil sebagai salah satu pemain angklung dan saya didaulat menemani nyokap yang menugaskan saya sebagai fotografer dadakan buat adik saya dengan kamera VGA HP-nya. Nasib! Saya was-was kalau pencahayaan bakal minim dan hasil fotonya jelek. Dalam hati saya berdoa, mudah-mudahan hasil fotonya nggak surem kayak foto saya.

Setelah menunggu lumayan lama sampai pantat panas dan perut sempat terganjal roti keju mini dan kacang telor dari kotak kue undangan, akhirnya tiba giliran adik saya tampil. Dia berjalan paling depan dan dari jauh udah kelihatan banget *meski saya nggak pake kacamata*, gara-gara dia pake baju adat Bengkulu yang ikat kepalanya agak ketinggian dan berwarna emas menyala. "Ma, foto sekarang ya?" saya minta izin sama nyokap, meski agak ragu juga soalnya nggak ada orangtua yang maju buat motret seperti performance-performance sebelumnya. Tapi saya PD aja, saya duduk di bangku nomor 2 dari depan yang dekat lorong dan memungkinkan untuk memotret adik saya. Eh, ketika saya menoleh, tiba-tiba segerombolan orang dewasa udah berdiri sejajar dengan saya dengan kamera digital (mulai dari yang layar LCD-nya cuma seukuran 3 jari sampe yang membentang memenuhi bagian belakang kamera) serta handycam di tangan masing-masing. Sedangkan saya, cuma pake kamera HP CDMA nyokap, VGA pula! Agak minder juga sih :[ Tapi apa boleh buat, emang saya nggak punya kamera digital karena bokek hehe.

Buru-buru saya sorot adik saya yang berdiri paling belakang (dari 3 baris), tapi paling pinggir karena dia paling tinggi. Eh masih nggak kelihatan juga mukanya, absurd. Saya zoom deh akhirnya, malah kotak-kotak jadinya. Ampun deh! Saya pun bertekad menabung buat beli kamera titik *doain saya nggak tergoda on-line shopping mulu ya!*. Alhasil, saya jepret adik saya apa adanya. At least nggak pelit cahaya kayak foto saya di Friendster kapan hari. Dua jepret cukup karena saya tidak menemukan angle yang bagus selain posisi saya saat itu. Mau lebih dekat, itu artinya saya harus memamerkan pantat saya yang mirip punya J-Lo ini *tapi bo'ong* ke muka tamu-tamu kehormatan yang duduknya paling depan. So, I decided to just stand where I am. Meski sempet kehalang tiang lampu dan ketutupan mas-mas bagian publikasi yang bawa kamera yang mirip kamera TV. Poor me :[

Begitu balik ke kursi saya semula, saya cek lagi hasil jepretan saya. Nggak jelek-jelek amat kok *membela diri hehe*. Tiba-tiba nyokap bertanya, "Kamera digital berapaan sih, mbak?" dan dengan lagak makelar kamera digital saya menjawab, "Sony yang bagus udah murah kok, 1.2 udah dapet." Nyokap tergelak kaget, "Kirain dibawah sejuta ada." dengan kesal saya menjawab, "Ya mending pake kamera HP aja kalo yang segitu!" Toh, kualitasnya nggak jauh-jauh amat. Kemudian nyokap bercerita kalo pengen beli kamera buat motret adik saya yang paling gede yang rencananya (garis bawahi!) mau ngeband di hari perpisahan sekolahnya.

Saya pun menimpali, "Tahun depan beli kamera yuk, Ma. Buat motret adek pas wisuda." Saya melihat fotografer bagian publikasi melintas, "Tapi kamera SLR aja." Nyokap mengerutkan dahi, "Apa itu?" sambil menunjuk dengan kepala saya berujar, "Kayak yang dibawa Pak yang lewat itu." Nyokap lebih surprised lagi, "Hah? Masa mau gendong-gendong begituan?! Ya Mama nggak mau. Kan berat!" saya tetep insist, "Tapi hasilnya kan bagus, Ma." Toh ujung-ujungnya yang motret saya juga, nyokap mah cuma mau trima jadi doank.

"Kalo kamera itu emang hasilnya bagus, Mbak. Kan kamera wartawan." nyokap seperti menimbang-nimbang sampai akhirnya berkata, "Pinjem Mas Iwan aja, pasti ada!" Saya cuma melengos pasrah, pupus sudah harapan saya memiliki kamera SLR cantik itu. Untung nyokap nggak nanya berapa harganya, bakal lebih jauh lagi chance buat ngedapetin itu barang. FYI, Mas Iwan adalah sepupu saya yang wartawan di sebuah surat kabar ternama di Surabaya (dulu, tapi sekarang lebih sering duduk manis di kursi besarnya yang empuk di kantor daripada meliput di lapangan hehe) dan tiap kali ada acara keluarga, dialah yang mengabadikan setiap momen dengan kameranya yang bikin mupeng. Sebelum jamannya kamera digital yang simple and flexible, dia selalu bawa kamera SLR-nya yang sangar itu.

Tidak sampai penghujung acara, nyokap memutuskan untuk pulang karena sudah mengantuk. Tadi, ketika jam menunjukkan pukul 8 malam dan adik saya belum juga tampil, saya dan nyokap sempat bergurau, "Ma, jangan-jangan adik udah ngantuk nih." Nyokap tertawa, "Iya, adikmu itu ngantukan--suka mengantuk." Saya terbahak, "Ntar main angklungnya ngawur, asal digoyang aja!" Entah kenapa 'impian' saya itu tidak pernah jadi kenyataan. FYI, jam tidur adik saya paling lambat adalah setengah 8 malam. Ha! Aneh emang, padahal dia udah kelas 5 di mana saya dulu udah mulai suka begadang demi nonton film-film bule di Indosiar yang cowoknya cute :]

Ketika sedang menunggu taksi pesanan di luar gedung di mana perpisahan dilaksanakan, saya bilang pada adik saya kalo saya mau beli kamera biar bisa motret dia pas perpisahan ntar. Saya juga cerita kalo saya pengennya kamera SLR dan cerita pendapat nyokap tentang keinginan saya itu. Adik saya menimpali, "Papa kan punya kamera gituan." Well, 'kamera gituan' itu nggak pernah saya lihat nongol di rumah, adikku sayang. Setengah nggak percaya saya ngetes apa adik saya beneran tau bahwa 'kamera gituan' itu bokap juga punya. "Yang Fuji itu?", tanya saya. "Hah? Bukan, itu kan punya Mama. Yang gede item itu lho." Ternyata dia nggak bohong, saya ngetes apa yang dia maksud sebenarnya adalah kamera manual punya nyokap yang udah rusak dan nggak tau sekarang di mana. Saya masih nggak percaya juga, buat apa bokap punya kamera SLR? Apa dulu bokap wartawan juga kayak Mas Iwan? Well, nggak harus wartawan sih yang punya SLR *but anyway bokap kan orangnya functionalist sejati!*. Tapi kenapa nggak pernah cerita kalo punya kamera idaman anaknya itu *desperate gila!*

"Sekarang di mana kameranya, Dek? Kok aku nggak pernah liat." tanyaku penasaran. "Nggak tau." jawab adik saya sambil mengangkat bahu. "Paling juga udah nggak ada, udah lama gitu. Pasti udah rusak." lanjut adik saya. Dengan sotoy-nya saya berkeras, "Kalo ngerawatnya bener, kameranya juga pasti masih bagus sampe sekarang. Kalo dijual bisa ngelebihin Sony kluaran terbaru tuh!" HA! Asli sotoy abis!! DSLR kuno aja saya nggak tau pasarannya berapa, apalagi kualitas DSLR kuno yang masih dirawat. Namanya juga ngibulin anak kecil hehe *membela diri!*

Duh, masih ada nggak ya itu kamera DSLR punya bokap. Huhh...alamat on-line shopping sambil ngempet-ngempet nih buat beli kamera idaman. At least, Kodak CoolPix 10 MP kayak punya Usher :D Doain ye temen-temen... Amin.


Monday, 4 August 2008

Quality Time

I've been back on-line for the first time in forever and trust me it made me healthier these days :D Well, I wasn't going anywhere actually, just sitting around in front of TV or my notebook and wrote some stories or continued the old ones. You know, common things people have in a holiday (except the writing part), lots of sleeping, day-dreaming, drawing etc. But this holiday, I spent almost all my time with my family. Surely I don't enjoy doing the household things, but I did love when I hang-out with my mom. We did gardening, shopping, baked some cookies and cake and we even visited my grandmother. It's just all fun! I also have fun with my little brother, he loves playing DinerDash2 or The Scruffs or any games in my notebook. It makes us close to each other. Oww, FYI, I don't live with my parents about 5 days a week because I live in another city, so that my brother seems like miss me so much, that's why he likes to spend some time with me :]. There's one day when I gotta help him doing his art project. Well, I gotta admit that I'm good at drawing so I offered him a sketch for his project then he can do it by his own in a different paper. He finished drawing but he had no enough time for coloring, I offered my help again. Well, in my days (long way a go for God's sake!), I did all my projects by my own. My parents didn't even care about it, I mean, they just supported everything that I need (such as money or the materials) but not help me doing the project. So, lucky you my dear brotha! We did coloring till my fingers felt like dying and my eyes going to turn down a.k.a I need to sleep soon. However, I enjoy coloring with my little brother because somehow it reminds me to a moment in my past when I gotta drawing yet coloring a lot :] (that moment successfully makes me proud with the way I am today). But, I also got bad things in this holiday. Shit happens, yanno. I lost my lovely little bunny, Milo. He's gone forever and I got a bad grave for almost a week. And my mother deleted all -yes, ALL- of Milo's pics on her gallery and I was so shocked and sad to know the fact that I can't see his face anymore. I'm still feel a grave a lil bit right now, but still, I try to let him go :[ And I spent my time almost a week doing nothing in hospital, because my grandma got sick and since everyone's busy with their job and everything then I'm the one who has no duty to do finally got a duty to take care my grandma in hospital. Well, eventually it's like make me -seriously- realize that we're all going to be old and so weak and in the end, nobody will save us but God. I got a spiritual talks again since I did it soooo rarely these last months because of the damn hectic days that successfully break me down. Anyway, this off-line thing I did because I just wanna test my self whether I deadly addicted to internet. FYI, I'm still on-line in a time which I supposedly not going on-line so that I can be focused and everything. But now, shit changes and I proudly tell ya that I can live without internet for almost a month but I guess I can't help it for more than that :] It's just I can't live without hanging my life on Google, it's like my everything right now. Well, that's it. There're sooo much quality times I've got from my holiday and I'm getting some good experience and got my besties's times back :] It's just dead relieving, you know. So, I'm back now and I'm ready to rock this cyber world again. Beware, folks!

The Chronicles of Ibu & Anak II: Lost Together

Seperti biasa, in the end of the day, saya selalu mengecek pengeluaran harian saya. Maklum anak kos, jadi duit mingguan yang dibelanjakan harus dikontrol kalau nggak mau ngemis-ngemis minta traktiran temen di kampus hehe. Saya pun mencatat rincian pembelian saya hari itu, mulai pembelanjaan pertama sampai pulang ke tempat kos. Singkatnya, uang saya lenyap sebesar Rp 55000! Oh God!! Saya mencoba calm down dan berpikir dengan kepala dingin, saya keluarkan semua ingatan saya sedetail-detailnya tentang pengeluaran hari itu. Dan hasilnya saya sama sekali tidak membeli atau membayar apapun dengan pecahan uang 50ribuan. Akhirnya saya sms si ibu--maksud saya mbak Anty, karena seharian itu saya jalan sama dia di kampus. Saya tanya apa waktu lunch tadi saya bayar dia pake duit 50rbuan, soalnya katanya dia mau bayar lunch pake duit 50ribuan jadi saya bayarnya ngikut dia. Meski saya inget banget kalo bayar ke dia pake duit pas (soto sama aqua gelas, totalnya 5500). Trus saya juga mau mastiin kalo saya belum bayar fotokopian slide mata kuliah MPD setelah lunch. Dan ya, saya memang belum bayar yang itu hehe.

Oke, saya sempat merasa sedang mengalami de javu karena kemudian mbak Anty membalas sms saya dan isinya mengabarkan bahwa duitnya di dompet (juga) ilang 50000. Great! Dulu isi flashdisk kami 'diculik' bareng dan sekarang duit pun ilang bareng, nominalnya sama pula! (meski punya saya gedean dikit). Dia juga cerita kalo itu duit setoran pulsa (maklum bakul pulsa) yang mau disetorin hari itu. Trus saya pun mengingatkan bahwa tadi lunch dia bayar pake duit 50ribuan dan dia bilang kalo hari itu dia bawa duit 100.000 dalam pecahan 50ribuan sebanyak dua lembar. And what about me? ME TOO, for God's sake!

Kami berdua pun bertanya-tanya ke mana gerangan itu si goban. Mengingat seharian tadi saya tidak melepas sling bag saya sama sekali, karena tingginya tingkat mobile saya hari itu (behh...sok sibuk banget!). Kecuali, yah, waktu mau shalat dzuhur di perpustakaan bareng si Temi. Saya sempat melepas tas saya dan menitipkannya ke si ibu--maksudnya mbak Anty--yang menunggu bareng beberapa orang teman di wi-fi zone di dalam perpus. Ceritanya hari itu kami berencana belajar Statistik bareng di wi-fi zone, karena Senin ada ujian mata kuliah itu (it was Friday anyway). Tapi kenapa yang ilang cuma punya saya dan ibu, sedangkan di dompet si Temi juga ada duit 50ribuan. Duh, ilang di mana coba?!

Saya pun mengirim sms ke si Temi, sekedar memastikan kalo tadi saya memberi dia duit 1000an buat bayar parkir di GM soalnya dia nggak ada duit kecil. Saya sih masih ingat jelas kalau duit yang saya kasih itu duit seribuan. Dan jawaban Temi pun memperjelas ingatan saya bahwa saya tidak salah ngluarin duit.

Ok, sementara saya masih mengingat-ingat ke mana gerangan itu duit, si Afni sms. Menanyakan tentang tugas review jurnal Psikologi Sosial dan ujung-ujungnya saya curhat kalo duit saya dan ibu ilang. Afni berasumsi mungkin duitnya jatuh, tapi kemudian dia berkata 'masa jatuhnya barengan?'. Jadi, delete that option! Berikutnya Afni menyarankan saya untuk mengikhlaskan saja duit itu dan dia juga bilang semoga saya mendapatkan gantinya yang lebih baik. Then I got introspected my self, mungkin selama ini saya kurang beramal. Yah, akhir-akhir ini mungkin jarang karena banyaknya pengeluaran yang saya keluarkan (on-line shopping fever!). Jadi saya pun pelan-pelan mengikhlaskan si goban, meski sejujurnya saya masih NGGAK PERCAYA duit itu lenyap dari dompet saya. Something makes no sense for me is, kok bisa ilang sementara dompet itu selalu di dalam tas dan tas selalu tergantung manis di badan saya. Karena memiliki nasib yang sama dan sama-sama masih nggak percaya duit kita ilang, saya dan ibu saling meratapi nasib lewat sms. Bahkan ketika di puncak kegilaan kami, saya bilang, "Masa duitnya bisa jalan sendiri keluar dari dompet?". It's just...unbelievable for me.

Well, isu tentang kehilangan emang lagi santer di kampus, sampe ada pemberitahuan yang ditempel di mading segala. Tapi saya nggak nyangka kalo harus masuk list 'the victims' juga, berdua bareng si ibu pula! Lagipula kebanyakan yang hilang adalah barang-barang elektronik, mulai handphone, charger sampai laptop. Belakangan saya baru baca kalau kehilangan itu juga meliputi duit dalam jumlah besar. What a great lost!

Akhirnya, saya pun bilang ke mbak Anty kalo saya batal ikut nonton Wanted di XXI sama Puspa dan Temi setelah UAS selesai (on Wednesday actually). And you know what, she said she will pay the ticket for me and she even offered a hand if I need some money, dia bilang 'jangan sampe terlantar bu!'. Aww...that's the sweet of youuuu!!! Tapi lalu saya bilang ke si ibu yang udah kayak fairy godmother saya sendiri itu (I know, something wrong with that sentence behind) kalo saya masih ada uang cadangan (sebenarnya uang tabungan buat beli Kodak Coolpix!). But still, saya nggak bisa nonton Wanted yang kerennya setengah mati itu! Seandainya si goban masih ada, surely I can do anything with that BIG money!

Akhir-akhir ini saya baru menyadari, duet kehilangan saya dengan mbak Anty punya kesamaan dengan duet penculikan isi flashdisk kami; selalu ada si Temi juga di situ. Oh no, bukannya saya accused dia, dia kan lagi shalat bareng saya waktu tas saya dititipin. Well, mungkin si Temi cuma kebetulan ikutan nongol ketika duet ibu dan anak ini sedang apes *piss yo!*.

Dan akhirnya, saya relakan juga itu duit sambil berdoa (bareng si ibu!), semoga yang nerima duit itu bener-bener lagi ngebutuhin. I didn't accuse anyone because it might've been my mistake, tapi yang jelas duit itu pasti ada yang nemuin atau at least ada yang nerima. Lucky you!

The Chronicles of Ibu & Anak I: Feel like Death

Hari itu saya sedang meeting dengan teman-teman sekelompok saya di kelas Psikologi Perkembangan I, ada satu tugas akhir yang harus diselesaikan sebelum minggu tenang UAS dimulai. Meeting dilaksanakan di ruang serbaguna yang berada di perpustakaan Unair kampus B. Yah, yang di samping kampus saya itu. Dengan bermodalkan laptop Compaq punya mbak Anty, tugas pun in process.

Setelah edit sana-sini dari hasil 'berburu' di internet, tugas pun selesai. Rencananya sih mau diprint sekalian di rental perpus, supaya nggak jadi beban. Flashdisk mbak Anty pun ditancapkan untuk memindahkan file tugas ke benda mungil itu. Dan mendadak kematian serasa begitu dekat di depan mata sodara-sodara! Ketika icon flashdisk diklik, tidak ditemukan apa-apa kecuali layar putih bersih terbentang di depan mata. Flashdisk yang biasanya berserakan folder-folder, gambar dan slide kuliah tiba-tiba melompong sepi. Ke manakah gerangan makhluk-makhluk digital itu pergi?

"Mungkin gara-gara nancep di laptop Tammy tadi. Laptop Tammy nggak bisa baca folder-foldernya." ujar ibu -- maksud saya mbak Anty panik. Logika saya protes, mana ada laptop nggak bisa baca folder? Kecuali laptop itu belum lahir ketika folder belum dilahirkan, yang berarti impossible! Sedangkan laptop Tammy termasuk laptop borjuis idaman mahasiswa (just like me!), Apple. Laptop mahal itu mana mungkin nggak bisa baca folder, yang punya sih masih mungkin *peace yo!*. Tiba-tiba jantung saya berdegup kencang, bukan, bukan karena Justin Timberlake minta saya jadi pacarnya. Tapi flashdisk saya tadi juga nancep di laptop si Temi! (baca: Temi, huruf e dibaca seperti pada telur) Bergegas saya ikutan nancepin flashdisk untuk memastikan bahwa folder-folder yang berjejer rapi di flashdisk saya masih berdiam di tempatnya.

Dan.........OH MY GOD! Dunia pun mendadak terasa gelap. Rasanya seperti menunggu giliran untuk lompat harimau ketika pelajaran olahraga SMP *I'm sooo terrible at it!* atau mendengar berita bahwa Zac Efron jadian sama Vanessa Hudgens. I was deadly shocked. At least saya tidak mengalami de javu dengan melihat layar putih melompong di hadapan saya untuk kedua kalinya, sejumlah master aplikasi hasil 'mancing' dari Puspa masih ada di flashdisk saya. Lalu ke manakah gerangan folder-folder berharga yang saya cintai lebih dari Snowy?

Satu hal yang pop-up di benak saya dan ibu -- maksud saya mbak Anty, virus. AVG Scanner pun ditugaskan untuk memberantas virus apapun yang telah merenggut nyawa kami berdua itu *behh...hiperbol!*. Ketika melihat scanning process AVG, folder-folder itu masih terbaca. Sungguh aneh bin ajaib! Lalu di manakah si virus menyandera anak-anak malang itu? Tidak ada yang tau.

Hasil scan menyatakan bahwa flashdisk saya dan mbak Anty terserang virus ganas bernama Trojan. Saya benar-benar tidak menyangka virus itu akan sedemikian sadis merenggut kehidupan saya. Bergegas ibu menghubungi bapak --emm...maksudnya mbak Anty menghubungi mas Ridzki yang kuliah IT, menanyakan bagaimana mengembalikan anak-anak kami yang disandera Bang Trojan itu. Dengan raut lemah mbak Anty berkata lirih, "Katanya kalo kena Trojan nggak bisa balik." NO!!!!!!!!! What could be worse?? Ngliat folder-folder ilang aja uda stres, ditambah dengan vonis mereka nggak bisa balik, mendadak rasanya saya juga ikutan disandera Bang Trojan.

Saya juga nggak berdiam diri, saya coba tanya ke Adi --teman saya yang kuliah IT. Apa file ilang kena Trojan bisa balik lagi, katanya file yang 'hidden' itu bisa dilihat di ACDSee. Tapi laptop mbak Anty nggak ada ACDSee-nya, pas nelpon mas Ridzki buat nanya di mana ACDSee-nya (FYI, laptopnya sebenernya punya mas Ridzki hehe), eh sinyal telepon malah drop. SIALAN! Tiba-tiba Pak Ting (a.k.a Trian) dan Meru (My Fam!!) melintas di depan kami. Langsung bagaikan melihat sosok abang penjual bakso, saya pun langsung berseru, "Bang, bang, baksonya satu mangkok ya!" Hehe of course I'm kidding, saya panggil si Pak Ting karena setahu saya dia punya skill di bidang beginian *hehe*. Ketika dilihat isi flashdisk yang menganga kosong, Pak Ting berkata bijak, "Maaf bu, nyawa anak ibu tidak bisa terselamatkan." Huaaaaaaaa...!!! Kata-kata itu begitu tajam seperti pedang bermata dua milik...milik...ah bodo amat milik siapa! Rasanya seperti ditusuk pedang dua kali. I'm dying!!!

Di sms, Adi bilang bisa pake file recovery juga kalo nggak ada ACDSee. Tapi saya nggak pernah liat itu yang namanya file recovery, jadi saya tunggu sampai ada yang bisa benerin flashdisk saya dan ibu --maksudnya mbak Anty. "Coba Meru," Pak Ting melemparkan tugas ke cowok di sampingnya (ya si Meru maksudnya!), Pak Ting pun menjelaskan duduk perkaranya (halah!) pada Meru. Meru pun mengklik-klik beberapa tempat untuk memeriksa kondisi anak kami -- maksudnya sistem flashdisknya. Saya pun nggak bisa berhenti memohon supaya folder-folder saya bisa kembali ke rumahnya seperti sedia kala.

Mendadak angin sepoi-sepoi bertiup di sekeliling saya, awan kelam beranjak pergi dan matahari tersenyum kembali. Meru bilang, "Masih bisa dikembaliin kok." ALHAMDULILLAH! Meru seperti dokter yang mengatakan bahwa anak saya yang kena penyakit kronis masih punya harapan hidup. God damn relieving!

Meru pun akhirnya mengambil alih semuanya. Flashdisk saya dan mbak Anty pun bergantian nancep ke laptop Meru yang udah senior *hehe piss!*. Dia bilang, "Kalo nancep ke laptopku nggak apa-apa.". Malang nian nasib Compaq mbak Anty, tertular virus mematikan *lebay bo!* bernama Trojan. Saking leganya, saya dan mbak Anty sampe nawarin reward ke Meru.

Ibu : "Meru mau apa?"
Saya : "Gratis edit foto seumur hidup deh..." *ga mau rugi hehe*

Tapi si Meru cuma senyam-senyum doank *bingung kali mau jawab apa, takut kita nggak mampu. Jalan-jalan keliling Eropa. Mampus!!*. Si Meru malah bilang sambil senyum malu-malu *apa malu-maluin ya?* "Ajarin ngedit foto aja deh.". Menurut saya, itu lebih susah daripada ngedit foto yang lighting-nya pelit setengah mati. Tak lama kemudian, semua folder di dalam flashdisk saya berikut file-file di dalamnya sudah kembali seperti semula. Nggak tau gimana Meru berhasil melumpuhkan Bang Trojan (sebenernya tau, cuma males nulisnya soalnya terlalu ribet dan berbau mekanistik. Boooring!), jangan-jangan Meru adalah reinkarnasi Si Pitung dari Betawi ahaha. However, rasanya saya bisa merasakan nafas kehidupan saya seperti sedia kala. Tidak ada lagi bayang-bayang sang pencabut nyawa di depan mata, yang ada cuma dunia yang maya ini :]. Thanks a lot to Meru, it's never been enough I know :D

Untuk mensyukuri kembalinya anak-anak kami, kami pun merayakannya dengan makan bakso deket kampus *like dream comes true or what? :]*. Gara-gara itu virus, saya dan mbak Anty sampai nggak sempat lunch. Tanpa terasa hari semakin sore dan waktu lunch pun kelewat jauh karena jam udah menunjukkan pukul 5 sore. Pulang makan, Meru bahkan sempet insist buat bayar baksonya sendiri, tapi ditolak sama si ibu. It's all paid by mbak Anty. Yay!! That's the sweet of youu, sis :]

Akhir kata, saya mengajukan perkara ini ke pengadilan untuk ditindaklanjuti. Karena ini sudah menyangkut nyawa orang lain, nggak cuma satu tapi dua nyawa sekaligus! Tersangka sekaligus pelaku utamanya sudah jelas bin obvious, saudara Temi dengan barang bukti berupa laptop Apple warna hitam yang logo apelnya udah kegigit separuh. Mungkin perlu dipertanyakan kenapa si Temi nggak beli yang apelnya masih utuh, apa pengaruh ke harga laptopnya juga ya?

Terdakwa dijerat pidana untuk melemparkan laptopnya ke kolam renang di belakang rumahnya *ide mbak Anty* dengan gaya lempar lembing sesuai prosedur pelemparan lembing di kitab Olah Raga anak SMP *it's mine!*. Hukuman ini belum ditambah dengan guilty pleasure tak terkira yang diberikan kepada terdakwa :]] *just joking!*

P.S.: thanks a lot (again) to Meru, this post is dedicated to you, Fam :D
P.S.S.: terakhir, laptop Temi sudah memakan korban baru, Puzpa, yang juga belakangan diketahui sebagai 'teman' dekatnya.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin