Monday 27 October 2008

The Hand

Malam minggu, tepat dua hari sebelum peringatan 40 hari meninggalnya eyang putri saya. Saya sengaja menginap di rumah eyang bareng nyokap dalam rangka ikut bantu-bantu bikin makanan buat acara tahlilan 40 harian eyang. Nggak ada perasaan aneh apapun seharian itu, hidup pun berjalan seperti biasa *halah*. Bahkan malamnya saya nyari dinner bareng sepupu saya sekalian mampir ke alun-alun beli fruit juice hehe. Mengingat adanya pendapat kalau selama 40 hari, arwah yang meninggal masih stay di rumahnya. I don't bother with that. Karena keesokan harinya harus kembali melanjutkan masak-masak, maka saya dan kerabat saya yang tinggal di rumah eyang pun memutuskan untuk tidur. Karena kamar di rumah eyang saya lumayan banyak, jadi bisa memilih tidur di mana saja. Namun, karena yang tinggal di situ perempuan semua jadi ya terpaksa tidurnya bergerombol kayak pindang alih-alih nggak berani tidur sendirian haha. Saya sendiri tidur sama sepupu dan bude saya, nyokap tidur sama dua kakak perempuannya di kamar yang lain. Saya tidur di kamar di mana eyang saya menghembuskan napas terakhirnya. Nothing really bother, seriously. Kamar itu sering banget dipake tidur oleh siapapun, bahkan ketika eyang saya masih ada. Jadi ya nggak ada perasaan apa-apa waktu mau tidur di situ. Ketika lagi sibuk-sibunya mempersiapkan bahan-bahan untuk dimasak esoknya, salah satu bude saya yang lagi mengupas kelapa di halaman belakang bareng dua saudaranya (termasuk nyokap) berkata, "Kok bau menyan ya?". Saya yang juga ada di situ pun tak mau kalah ikut membaui udara yang melintas di bawah hidung, "Nggak kok." sahut saya, karena emang nggak mencium apa-apa selain bau angin (bukan kentut!). Anehnya, sepupu saya, bahkan nyokap juga bilang kalau mereka mencium bau yang sama yang dicium bude saya. Bau menyan. Something wrong with my nose? Karena faktor nada unik nan beraturan yang berasal dari perut, saya pun mengajak sepupu saya nyari dinner di luar. Pas lagi ganti baju di kamar eyang, karena baju saya digantung di situ, saya mencium bau yang tadi diributkan bude saya dan yang lainnya. "Bau menyan ya?" kata saya pada sepupu saya yang juga sedang mengganti bajunya. "Ada mbah nih." ujarnya enteng. Saya cuma tersenyum tipis sambil bergumam, "Mbah." and seriously I didn't feel anything but miss her so much :[ Dan berikutnya, inilah inti kenapa blog ini saya posting. Usai nyari dinner plus dessert berupa jus alpukat, usai kekenyangan karena makan seporsi mi pangsit plus jus alpukat yang di luar normal banyaknya, usai semua menyelesaikan mempersiapkan bahan-bahan buat masak besoknya, tidur merupakan cara yang tepat untuk mengakhiri hari itu :D Lampu kamar dimatikan, tapi saya masih nonton TV. Saya nggak tau itu jam berapa karena kamar sudah gelap dan handphone saya berada jauh dari jangkauan. Sumpah, malam minggu nggak ada acara yang bisa ditonton di TV. Film-film yang diputer pun nggak begitu menarik, in my opinion-underlined that! Akhirnya saya pun stuck nonton Gebyar BCA, karena Tompi lagi tampil. Lumayanlah. Eh, di belakang-belakangnya ternyata ada peterpan yang katanya ga bakal tampil lagi dengan nama itu setelah konser terakhirnya di RCTI tapi ternyata masih manggung juga. Yah, lumayanlah :]] Gebyar BCA kelar, saya ganti-ganti channel TV sampe sekitar 5 lap-an gitu saking enegnya ga ada acara yang bisa saya tonton. Honesty, saya masih belum ngantuk-ngantuk amat, jadi saya nyari objek pengantar tidur hehe. Akhirnya, karena kecapekan cetak-cetek remote TV melulu, saya pun memutuskan berhenti di channel...God, saya lupa! kalau nggak salah habis itu saya udah berangkat ke pulau kapuk sampai lupa berdoa. Dan inilah awal segalanya. I will remember it or even plant it on my brain; never forget to pray before you sleep. Menjelang subuh, nyokap bangunin saya. Saya dengar suara nyokap, bahkan saya bisa lihat siluet badan nyokap yang sedang menghampiri saya yang masih terbaring di kasur meski samar-samar (karena mata masih ngantuk). Saya nggak tau itu jam berapa karena sekali lagi, mata saya masih lengket. Saya hendak membuka mata lebar-lebar, maksudnya sih bangun tidur. Tapi saya nggak bisa! Saya tidur dengan posisi miring ke kanan. Rasanya seperti ada yang menahan mata saya untuk terbuka. Entah ini mimpi atau bukan, seingat saya, saya seperti melihat tangan hitam memegangi kepala saya. Sepertinya itulah penyebab saya nggak bisa membuka mata. 'Saya mau bangun; Bangun, Sar!' kata saya dalam hati. Saya pun membuka mata dengan paksa dan akhirnya berhasil bangun sekaligus *fiuh*. Waktu bangkit dari tidur, saya merasakan sakit di tengkuk saya. Mungkin saya salah tidur, bisa juga. Tapi kemudian saya ingat kejadian yang barusan saya alami, dalam trance masih disoriented (antara sadar dan nggak) waktu badan saya tidak bisa digerakkan itu, leher saya rasanya kaku sekali. Saya masih sulit mencerna semua ini. Mana yang mimpi, mana yang nyata. Toh jelas-jelas saya nggak salah tidur. Posisi tidur saya cuma miring ke kanan atau ke kiri sama tengkurap haha. Nothing wrong with that, rite? Dan so far, dengan posisi tidur saya yang demikian itu saya nggak pernah ngerasa sakit di leher belakang pas bangun. It just...makes no sense for me somehow. Hardly to believe, you know. Is it some kinda mystic stuff or what? I have no idea. One thing I will remember in the rest of my life; praying. Anywhere you are, anything you do.

Wednesday 15 October 2008

Stop Thinking

Pernah saya browsing alias cuci mata ke sebuah bookstore yang cukup well-known di Surabaya (one of my favorite). Waktu lagi melintas di rak bagian buku-buku inspirative, saya melihat sebuah buku yang menarik perhatian saya. Dalam buku itu dikatakan bahwa kita disarankan untuk jangan pernah berhenti berpikir. Sekalipun kita sedang tidur. Karena kita tidak pernah tahu ide-ide atau pemikiran brilian macam apa yang akan keluar dari hasil kerja otak kita. Sebagai penulis (well, especially a novel author), otomatis saya sependapat dengan si penulis buku itu. Tulisan yang lahir dari hasil koordinasi kerja otak dan kelihaian jemari tangan saya bisa eksis karena adanya proses berpikir. Namun pengalaman saya yang satu ini mengubah totally pendapat saya itu. Until one night. Situasi kuliah sedang sooo hectic sampai pulang kuliah saya selalu menjelang petang. Well, mungkin bagi sebagian orang itu hal yang wajar. Apalagi status sebagai mahasiswa, tidak ada batasan waktu untuk urusan kuliah (am I right?). Tapi bagi saya, I need a time, in one day, to give my self a rest and I can enjoy my me-time. Dan biasanya itu saya lakukan di malam hari, usai jam 'sekolah'. Saya pun memutuskan membeli sebotol jasmine tea (or any instant tea) setiap pulang kuliah malam. Just an excuse so that my body will be a lil bit relaxed then I can sleep tight till the next morning. But plan just a plan, God decides. I've never have a good quality sleep after all. Mata memang terpejam rapat, badan pun relaxed tapi otak saya terus memunculkan ide-ide yang seolah mengalir deras seperti air terjun. Saya bahkan menyalakan aromatheraphy healing set dengan aroma-aroma essential oil yang lembut supaya saya bisa terlelap perlahan. Oh God, it failed. Mungkin lampunya perlu dimatikan, pikir saya suatu malam. Namun setelah kamar saya gelap, pikiran-pikiran horor tentang sosok putih atau bayangan putih yang berdiri di samping tempat tidur saya terus menghantui dan ujung-ujungnya saya tidak bisa tidur. So, turn off the light is not the solution. Bukannya saya phobia gelap, saya tidur dengan lampu mati di rumah saya sendiri. Lagipula, menjelang tidur biasanya saya sambil membaca novel atau mendengarkan MP3 sehingga terkadang malas bangun (soalnya uda PW di kasur) untuk sekedar mematikan lampu yang saklarnya terletak di dekat meja belajar itu. Pernah saya baca di majalah, kalau sedang sulit tidur sebaiknya bangun dan melakukan aktifitas yang melelahkan. Say, walking around your house (inside not outside okay) or a lil excercise like push-up or sit up but I'd prefer none of those two options. I get up and sit on my study chair and grab a chocolate bar and of course eat it immediately. I ussually still sit till I stop thinking and it takes a long time. Quite long till I guess I lost almost 75% of my sleeping time. Momen di mana saya meraih chocolate bar itu hampir selalu sama, ketika saat itu tiba biasanya mendekati pukul 12 malam atau lebih dari setengah 12 malam. Saya tidak tahu apa sebabnya. Saya tidak pernah mau melihat jam di handphone yang selalu stuck di samping bantal saya (because I need the alarm to wake me up in the morning) karena itu akan membuat saya semakin guilty and sad melihat waktu tidur saya yang berkurang drastis. Sampai saat ini pun hal itu masih sering terjadi (tapi tanpa momen: grab a chocobar), di mana di tengah malam saya bangun karena tidak bisa tidur dan hanya bisa duduk di depan meja belajar dan terdiam sampai merasa mengantuk. Kadang saya ambil novel atau komik karena biasanya saya merasa mengantuk bila membaca di rentang jam tidur. But still, it didn't help a lot. Saya masih harus struggling sampai benar-benar tertidur atau at least saya berada dalam kondisi tidak sadar supaya body and soul saya bisa istirahat sejenak. Saya pun mendadak mengidap insomnia. Writing board di dekat tempat tidur saya pun jadi tempat pelampiasan. Board itu penuh call-out yang isinya tangisan saya yang nggak bisa tidur juga. Otak saya justru bekerja aktif di kala saya ingin otak saya berhenti bekerja. If you wonder, ide-ide yang terus mengalir dan pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala saya itu bermacam-macam. Mulai desain FS yang baru, kelanjutan plot cerita dalam novel yang sedang saya tulis, apa yang ingin saya googling besok, gimana kabar Senja sahabat saya sejak TK, kira-kira gimana biar kelinci kecil nggak rawan mati, sampai mendadak menemukan cara atau penyelesaian masalah yang tadinya saya capek mikirinnya. Semua itu pop-up di kepala saya ketika mata saya ingin terpejam sekitar 8 jam dan badan saya ingin diistirahatkan dari aktifitas saya yang melelahkan. Saya nggak mau nyari-nyari tips tidur yang baik karena saya udah bosan sama semua tips yang pernah saya baca di majalah. Karena kunci masalah tidur saya ada pada kontrol saya sendiri, untuk menghentikan kerja otak yang bersarang di tengkorak saya. Berhenti berpikir, for at least 8 hours. Alhasil, saya tidak pernah punya kualitas tidur yang baik. Cirinya, saya selalu mengantuk di kelas paginya dan ketika bangun saya merasa waktu tidur saya kurang. Sekalipun saya tidur jam 9 malam, tapi rasanya saya masih ingin tidur sampai jam 10 pagi kalau perlu. Still not enough, for me. Akibatnya, I feel like I do a revenge when I'm at home. Kualitas tidur saya di rumah jauh lebih berkualitas meskipun kadang juga mengalami masalah yang sama. Kecenderungan saya bila di rumah adalah sleep late dan bangun agak siang. Saya biasa tidur pukul 1 atau 2 pagi dan bangun sekitar pukul 8. Dan saya tidur nyenyak sekali. I've never ask for more time to sleep or get back to my bed even when my mother yelling me to wake up. Kualitas tidur ini fortunately tidak mempengaruhi kondisi mood saya setiap harinya. Saya bukan orang yang moody. Mood saya ditentukan oleh adanya satu pikiran yang menjadi beban di kepala saya. Ya, satu pikiran. Hanya satu dan tidak lebih. And anyway, itu sangat jarang terjadi karena saya tidak suka membawa-bawa masalah ke mana-mana. Enakan juga bawa duit, biar bisa dibelanjain buku atau baju haha. Suatu malam, di kala insomnia saya lagi kumat. Saya manfaatkan sekalian over-production otak saya ini. Saya tulis sebuah prosa di diary saya sampai menggambar kartun-kartun jelek di writing board saya (it's full now!). Dan kalau saya baca lagi prosa buatan saya itu atau gambar kartun jelek saya, saya jadi ketawa sendiri mengingat betapa depressed-nya saya kala insomnia sedang melanda. Saya pun jadi merasa berada dalam sebuah game komputer, di mana saya bisa memutuskan untuk 'quit' atau kembali ke 'game resume'. Saya berlomba dengan otak saya sendiri. Apakah saya bisa tidur dengan kepala kosong alias tidak memikirkan apa-apa atau terus gelisah di atas tempat tidur because my thoughts and ideas are scattered everywhere. Saya pun jadi punya trik sendiri supaya bisa lekas tidur ketika godaan untuk 'back to the resume'. Saya akan mengatakan pada otak saya; think about nothing. Karena otak saya tidak bisa menemukan dan memvisualisasikan objek apa itu 'nothing', sehingga tidak ada lagi bayangan-bayangan yang bermunculan di pikiran saya dan akhirnya saya pun bisa terlelap. Sweet dreams.

Monday 13 October 2008

Pop Sausage

Kalau kamu pikir itu aliran musik baru, kamu salah. Saya sengaja bikin judul itu soalnya ini ada hubungannya dengan snack teman nonton film, apalagi kalau bukan pop corn. Ada yang nggak tau apa itu pop corn? Ke laut aja.

Well, kemarin itu saya baru selesai lunch dan adik saya yang paling kecil minta dibikinin sosis goreng tepung. Jadilah saya memotong-motong sosis sapi jadi kecil-kecil dan pipih kemudian mengaduknya ke dalam adonan tepung (hasil 3 macam campuran tepung dan sedikit air). Saya melakukan semuanya persis seperti yang biasa dilakukan nyokap saya, ya, semuanya termasuk perlengkapan yang digunakan. Soalnya hanya itu yang saya tahu haha.

Sosis sudah terbalur adonan tepung dengan sempurna, tinggallah saatnya saya mencemplungkannya ke dalam penggorengan. Karena males membungkuk ngambil wajan yang biasa dipake menggoreng, jadinya saya pake teflon medium yang ada di samping kompor. 'Mungkin habis dipake menggoreng ayam crispy tadi pagi' pikir saya waktu itu. Tanpa firasat apa-apa, saya panaskan itu wajan yang udah berisi minyak lumayan banyak (soalnya kalo mau goreng ayam crispy minyaknya harus banyak, kata nyokap saya sih gitu hehe). Trus pas udah panas saya masukkan sosis berbalut adonan tepung satu per satu dan nggak lama kemudian saya lihat udah banyak yang matang (gorengan kelihatan kecoklatan = tanda udah matang, yang ini kebangetan lah kalo sampe nggak ngerti!). Saya pun ngambil capitan makanan yang biasa dipake nyokap buat meniriskan kalo lagi menggoreng ayam goreng crispy dari wajan (udah saya bilang, persis kayak nyokap sampe ke peralatannya!). Waktu meniriskan satu sosis goreng ke saringan, mendadak sosis itu meletus kayak pop corn. Saya pikir, mungkin karena ada bagian yang menggembung. Biasanya telur dadar juga sering kayak gitu, jadi saya mah biasa aja. Sosis kedua yang saya tiriskan ke saringan, lebih parah. Dia malah seolah mental waktu nyampe di saringan, diikuti satu sosis lagi yang bahkan belum saya angkat dari wajan alias itu sosis keluar sendiri dari penggorengan! Refleks saya menjauh dari wajan sekitar 2 atau 3 mil gitu lah, untuk menyelamatkan nyawa saya yang cuma sebiji ini. Ledakan dari sosis-sosis di dalam wajan masih berlangsung, sosis-sosis goreng itu seolah pop-out (saya nggak tahu istilahnya dalam bahasa Indonesia, sorry) persis kayak pop corn.

Mengingat saya lebih takut kecipratan minyak goreng dibanding kesetrum pas nancepin kabel, jadinya buru-buru saya matiin kompornya dan berlari (anehnya) ke bokap yang lagi baca koran di ruang tamu (nyokap lagi tidur). Sementara adik saya yang minta digorengin sosis lagi ngisi TTS di majalah Mentari yang baru dibelinya pagi tadi.

"Pa, sosisnya meledak." kata saya yang sukses mengejutkan bokap yang lagi serius baca kolom ekonomi di Jawa Pos.
"Hah?" mungkin bokap mendengarnya seolah kompornya yang meledak melihat muka saya yang panik kayak habis ngelihat kebakaran.
"Sosisnya meletup, Pa. Gimana donk?" saya berkata lagi.
"Ya dikecilin kompornya." ujar bokap tenang sambil kembali membaca koran di tangannya.
"Udah, dimatiin malah."
"Ya sekarang udah nggak." kata bokap dengan isyarat supaya saya kembali ke dapur, melihat kondisi sosis goreng tepung pesanan adik saya.
Saya pun berjalan kembali ke dapur, "Kamu nggoreng kok pake capitan?" seru bokap dari ruang tamu.
"Mama biasanya pake capitan kalo ambil gorengan." jawab saya dari dapur.
Ya, saya tadi lari dari dapur dengan tangan masih menggenggam capitan makanan yang saya pakai buat meniriskan gorengan dari wajan. Fool me!

Hebatnya, apa yang dikatakan bokap 100% benar. Sosis-sosis goreng yang sekarang semuanya benar-benar matang itu diam di penggorengan, yang di saringan juga udah nggak meletus. Nggak ada lagi yang meletus-letus apalagi sampai meloncat keluar penggorengan. Buru-buru saya tiriskan sisa sosis yang masih ada di wajan dan langsung memindahkannya ke piring adik saya.

Setelah kejadian itu, saya jadi bertanya-tanya; yang salah itu wajannya? minyaknya? adonannya? atau sosisnya? karena jelas ini bukan human error alias bukan salah saya. (haha) Adonan saya bikin seperti biasa, sosis juga sosis yang biasa nangkring di kulkas, kalau wajan...nggak deh rasanya. Minyak? mungkin juga, tapi minyak model apa yang bikin sosis sampai jadi pindah orientasi jadi pop corn? Any idea?

Monday 6 October 2008

Berbeda

Satu kekosongan mengisi Lebaran saya tahun ini. Sekitar 10 hari menjelang Lebaran—tepat sehari sebelum saya berulang tahun, saya kehilangan orang yang saya sayangi, orang yang telah merawat saya ketika saya kecil. Orang yang selalu menyayangi saya layaknya ibu saya sendiri, eyang putri saya. Idul Fitri 1429 H terasa sangat berbeda, kehilangan satu orang yang dicintai banyak orang membuat perbedaan itu muncul ke permukaan. Hari pertama Lebaran, di mana biasanya usai shalat Id saya dan keluarga buru-buru ke rumah eyang supaya tidak ketinggalan sungkeman, kini memilih di rumah saja sekalipun tahu tak akan ada tetangga yang mampir karena semua pada mudik ke kampung masing-masing. Kebetulan, tante saya ada yang hendak berkunjung ke rumah bersama keluarganya. Jadilah kami sekeluarga menetap di rumah sampai sekitar tengah hari karena saya dan nyokap memutuskan untuk pergi ke rumah eyang saya yang sudah tiada itu. Di rumah eyang, hampir semua saudara-saudara nyokap berkumpul. Kecuali satu-satunya pakde saya yang masih di luar pulau (it's in Sumba, NTT anyway), karena pesawat tidak tiap hari ada dan biayanya pun tidak murah. Bahkan bude saya yang biasanya mudik ke kampung halaman suaminya di Jawa Tengah, tahun ini memutuskan untuk stay dan berkumpul bersama saudara yang lain. Tradisi sungkeman memang sudah tidak ada (dimulai dari tahun ini), mengingat eyang kakung saya juga sudah meninggal sekitar 4 tahun yang lalu. Saya memandang ruang tamu yang lengang, tempat di mana eyang saya biasa duduk dan kami semua bersimpuh bergantian mencium tangannya ketika hari kemenangan tiba. Meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Sosok itu kini telah tiada, sekali lagi saya meyakinkan diri. Alhasil, hanya tradisi salam-salaman antar saudara yang tersisa. Tak lupa angpao Lebaran dari bude-bude saya yang baik hati hehe. Suasana rumah eyang hari itu bisa dibilang sepi sekali, nyaris tidak ada tamu berkunjung sejak saya datang sampai saya pulang sekitar pukul 4 sore. Mungkin saya melewatkannya pagi tadi, namun ketika eyang saya masih ada, volume tamu yang berkunjung ke rumah bisa sampai malam hari tanpa henti. Sekali lagi, kepergian eyang saya telah membuat perubahan pada Lebaran tahun ini. Hari kedua Lebaran, biasanya diisi dengan berkunjung ke rumah kerabat di luar kota yang tak jauh dari kota tempat saya tinggal. Namun, tahun ini agenda keliling ke rumah kerabat itu mendadak dihapus dan diganti dengan acara nonton bareng "Laskar Pelangi" bareng sepupu dan adik saya. Lebaran hari kedua pun dihabiskan di salah satu mall di Surabaya dengan agenda hari itu: nonton "Laskar Pelangi" yang memang lagi happening banget. Berangkat lumayan pagi supaya kebagian tiket pun dilakoni, bahkan sebelum loket bioskopnya buka. Karena udah kebiasaan beli snack di supermarket di mall itu, kami pun dengan PD-nya menenteng tiga kresek medium yang penuh makanan ringan ke dalam bioskop. Namun buru-buru dicegah petugas yang mengatakan nggak boleh bawa makanan ke dalam bioskop. Sejak kapan? saya bertanya-tanya dalam hati. Lalu saya melirik pengumuman yang berdiri di samping saya. Oh, rupanya sejak kertas pengumuman ini terbentang beberapa waktu lalu karena jelas sekali bahwa pengumuman itu belum lama terpasang. Alhasil, kami hanya berhasil membawa sekantong plastik berisi minuman. Damn! Malamnya, saya pun sibuk menyiapkan minuman buat saudara-saudara saya yang suka datang serombongan ke rumah saya yang tiny, di saat mata saya udah tinggal se-watt dan kaki juga mulai pegel-pegel gara-gara kelamaan ngantri nungguin loket bioskop buka paginya. Tapi itu semua worth it dengan perasaan gembira yang mengantar saya tidur. Kepergian eyang saya memang telah membuat perbedaan--perubahan pada Lebaran tahun ini. Perubahan yang muncul ke permukaan itu memang masih terasa asing, aneh. Namun saya yakin, ke depannya akan mampu mengantar keluarga besar saya menjadi keluarga yang lebih baik. Amin. Good bye, my beloved grandmere. May you get the best place besides Allah. I'm gonna miss you always. I love you, you know that :] Met Lebaran !

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin