Manusia ditakdirkan memiliki kapasitas otak yang sama. Menurut teori, di dalam otak terdapat dua jenis penyimpanan memori (STM dan LTM). FYI, LTM atau Long Term Memory merupakan bagian otak yang mampu memuat beragam informasi yang tidak terbatas jumlahnya. Jadi, menurut teori, seharusnya ungkapan 'Waduh udah lupa, itu kan udah lama banget' atau 'Sorry, aku kebiasaan nih suka lupa' tidak berlaku atau istilahnya makes no sense. Kecuali kalau emang informasi itu bersifat temporary dan nggak terlalu penting, kemungkinan bisa masuk ke STM atau Short Term Memory yang kapasitas penyimpanannya memang terbatas (cuma 7 unit).
Berangkat dari pengetahuan tersebut, saya jadi melihat sebuah fenomena di mana seseorang yang bolak balik menanyakan hal yang sama (bukan karena pikun atau udah tua). Seperti 'Gimana, Mbak, caranya main game ini nih?' padahal saya udah 3 kali menjelaskan dan dia selalu nanya hal yang sama tiap kali mau main game itu. Yang saya bingungkan, kenapa dia bertanya pada saya lebih dari sekali? Oke, mungkin wajar dan bisa dimaklumi ketika seseorang banyak bertanya ketika dalam proses pembelajaran. Dalam artian, ketika saya menjelaskan, ia bisa kok banyak bertanya atau mengulangi instruksi saya sambil praktek. Seriously, it will help you memorize everything by doing it while people telling you what to do. Tapi apa jadinya kalau bertanya itu berlangsung beberapa kali di mana sebelumnya saya menganggap pemahaman itu sudah didapatkan? Sometimes, it sucks. Well, kejadian tersebut mungkin ada kaitannya juga dengan metode pembelajaran tiap-tiap orang yang bisa berbeda-beda.
Saya bingung, kenapa sesuatu yang dianggap penting dan kerap dibutuhkan or say, it's kinda technical thing bisa dilupakan begitu saja. Bokap saya selalu mengajarkan untuk menggunakan logika dalam melakukan sesuatu dan di sisi lain, nyokap saya memberikan anjuran untuk melihat keadaan dengan rasa simpati dan empati. Dua elemen ini selalu berperang di dalam kepala saya. Oke, akan saya jelaskan lebih lanjut.
Berpikir logis berarti juga menggunakan nalar untuk menyelesaikan masalah. Sekarang saya tahu alasan kenapa bokap saya tidak pernah membiarkan saya selalu minta tolong untuk mengerjakan apa yang saya tidak bisa, terutama masalah teknis. Misalnya, ketika bokap meminta saya untuk mematikan keran air di taman depan yang baru aja dipasang.
Saya : Pa, muter kerannya ke kanan atau ke kiri?
Bokap : Matiin keran ke kanan atau ke kiri?
Bukannya bokap males jawab, tapi sejak kecil pertanyaan saya selalu dibalikkan seperti itu oleh bokap supaya saya bisa mencari jalan keluar sendiri berdasarkan logika dan nalar saya. And finally I use to see things in a rational way, in order to solve problems.
In the other hand, nyokap selalu mengambil alih apapun yang saya katakan 'I can't do it'. Misalnya nih, ketika saya nggak bisa (nggak berani sebenernya hehe) membuka tutup oven ketika nyokap minta tolong ngecek kue panggangannya udah mateng atau belum.
Saya : Ma, gimana nih bukanya? *tangan udah megang lap buat membuka tutup oven yang panas*
Nyokap : (beberapa saat kemudian) Sini lapnya.
See, she takes over my problems and finishes it just like that. Mungkin maksudnya supaya saya bisa belajar dari apa yang nyokap lakuin (social learning), tapi jadinya sampe sekarang saya lebih memilih mengoles adonan dengan putih telur daripada harus membuka tutup oven. Karena kalau saya membuka tutup oven bisa memakan waktu seribu tahun lamanya karena saking hati-hatinya takut tangan kena panas oven, sehingga nyokap memutuskan untuk melakukannya sendiri.
Cara orang menyelesaikan masalah emang berbeda-beda dan saya sangat menghargai perbedaan itu meskipun ada juga yang sedikit konyol.
Then something makes me more confused is the fact that we are social man. Kalau, menurut teori yang tentunya sudah dibuktikan dengan sejumlah penelitian yang melototin dan mempelajari tentang karakteristik otak manusia, otak kita ini bisa mengingat informasi dalam jumlah besar yang dalam hal ini disimpan di dalam LTM. Dan informasi yang disimpan di dalam LTM itu tentunya bernilai penting dan berharga sehingga membuahkan kesan dan akhirnya nyantol di ruang-ruang penyimpanan file di LTM room. Lalu ungkapan 'aku ini orangnya pelupa, makanya aku ditakdirkan sama dia yang suka mengingatkan', apakah masih terdengar masuk akal? Lantas apa yang bersarang di dalam LTM buat 'orang-orang pelupa'?
Karena sejatinya otak manusia ini mampu mengingat apa saja, mengingat besarnya kapasitas memori yang dimiliki LTM. Terlepas dari 'kita ini makhluk sosial' dan 'teori memori', saya juga mau menyebutkan faktor lain. Kemauan. Kadang, meskipun suatu hal dirasa penting dan bernilai, tapi ada juga orang yang mengabaikannya begitu saja dan menganggap orang lain bisa membantunya nanti dengan mengingatkannya. Kalau memang penting, kenapa tidak ada usaha atau lebih tepatnya kemauan yang diikuti usaha untuk mengingatnya? Dalam artian, menyimpan informasi tersebut ke dalam memori (LTM) dengan sejumlah cara (visualized or verbalized). Hmm... a will and a tendency to ignore things.
Terlalu banyak pikiran memang menyesakkan kepala. But hey, bukan itu masalahnya kalau dipikir-pikir. Yang menyesakkan kepala itu bukan pikirannya, melainkan banyaknya 'file' yang aktif melakukan proses kognisi di otak. Kalau pintar meng-on dan off-kan 'file-file' mana yang mau diproses, tentunya ungkapan 'lagi banyak pikiran' nggak akan terucapkan *halah*.
Posting ini bukan dimaksudkan untuk mengkritik (kalau ada yang merasa dikritik ya cepat berubah hehe), ini cuma sebuah wacana hasil proses kognisi di kepala saya and I just wanna share. Seriously, this is the first time I write something called 'boring-hard-topic' which contains theory like this. I feel like I wrote a scientific journal or something. Of course, in a fun way ahaha.
P.S.: call me selfish or whatever, I don't give a damn.
Berangkat dari pengetahuan tersebut, saya jadi melihat sebuah fenomena di mana seseorang yang bolak balik menanyakan hal yang sama (bukan karena pikun atau udah tua). Seperti 'Gimana, Mbak, caranya main game ini nih?' padahal saya udah 3 kali menjelaskan dan dia selalu nanya hal yang sama tiap kali mau main game itu. Yang saya bingungkan, kenapa dia bertanya pada saya lebih dari sekali? Oke, mungkin wajar dan bisa dimaklumi ketika seseorang banyak bertanya ketika dalam proses pembelajaran. Dalam artian, ketika saya menjelaskan, ia bisa kok banyak bertanya atau mengulangi instruksi saya sambil praktek. Seriously, it will help you memorize everything by doing it while people telling you what to do. Tapi apa jadinya kalau bertanya itu berlangsung beberapa kali di mana sebelumnya saya menganggap pemahaman itu sudah didapatkan? Sometimes, it sucks. Well, kejadian tersebut mungkin ada kaitannya juga dengan metode pembelajaran tiap-tiap orang yang bisa berbeda-beda.
Saya bingung, kenapa sesuatu yang dianggap penting dan kerap dibutuhkan or say, it's kinda technical thing bisa dilupakan begitu saja. Bokap saya selalu mengajarkan untuk menggunakan logika dalam melakukan sesuatu dan di sisi lain, nyokap saya memberikan anjuran untuk melihat keadaan dengan rasa simpati dan empati. Dua elemen ini selalu berperang di dalam kepala saya. Oke, akan saya jelaskan lebih lanjut.
Berpikir logis berarti juga menggunakan nalar untuk menyelesaikan masalah. Sekarang saya tahu alasan kenapa bokap saya tidak pernah membiarkan saya selalu minta tolong untuk mengerjakan apa yang saya tidak bisa, terutama masalah teknis. Misalnya, ketika bokap meminta saya untuk mematikan keran air di taman depan yang baru aja dipasang.
Saya : Pa, muter kerannya ke kanan atau ke kiri?
Bokap : Matiin keran ke kanan atau ke kiri?
Bukannya bokap males jawab, tapi sejak kecil pertanyaan saya selalu dibalikkan seperti itu oleh bokap supaya saya bisa mencari jalan keluar sendiri berdasarkan logika dan nalar saya. And finally I use to see things in a rational way, in order to solve problems.
In the other hand, nyokap selalu mengambil alih apapun yang saya katakan 'I can't do it'. Misalnya nih, ketika saya nggak bisa (nggak berani sebenernya hehe) membuka tutup oven ketika nyokap minta tolong ngecek kue panggangannya udah mateng atau belum.
Saya : Ma, gimana nih bukanya? *tangan udah megang lap buat membuka tutup oven yang panas*
Nyokap : (beberapa saat kemudian) Sini lapnya.
See, she takes over my problems and finishes it just like that. Mungkin maksudnya supaya saya bisa belajar dari apa yang nyokap lakuin (social learning), tapi jadinya sampe sekarang saya lebih memilih mengoles adonan dengan putih telur daripada harus membuka tutup oven. Karena kalau saya membuka tutup oven bisa memakan waktu seribu tahun lamanya karena saking hati-hatinya takut tangan kena panas oven, sehingga nyokap memutuskan untuk melakukannya sendiri.
Cara orang menyelesaikan masalah emang berbeda-beda dan saya sangat menghargai perbedaan itu meskipun ada juga yang sedikit konyol.
Then something makes me more confused is the fact that we are social man. Kalau, menurut teori yang tentunya sudah dibuktikan dengan sejumlah penelitian yang melototin dan mempelajari tentang karakteristik otak manusia, otak kita ini bisa mengingat informasi dalam jumlah besar yang dalam hal ini disimpan di dalam LTM. Dan informasi yang disimpan di dalam LTM itu tentunya bernilai penting dan berharga sehingga membuahkan kesan dan akhirnya nyantol di ruang-ruang penyimpanan file di LTM room. Lalu ungkapan 'aku ini orangnya pelupa, makanya aku ditakdirkan sama dia yang suka mengingatkan', apakah masih terdengar masuk akal? Lantas apa yang bersarang di dalam LTM buat 'orang-orang pelupa'?
Karena sejatinya otak manusia ini mampu mengingat apa saja, mengingat besarnya kapasitas memori yang dimiliki LTM. Terlepas dari 'kita ini makhluk sosial' dan 'teori memori', saya juga mau menyebutkan faktor lain. Kemauan. Kadang, meskipun suatu hal dirasa penting dan bernilai, tapi ada juga orang yang mengabaikannya begitu saja dan menganggap orang lain bisa membantunya nanti dengan mengingatkannya. Kalau memang penting, kenapa tidak ada usaha atau lebih tepatnya kemauan yang diikuti usaha untuk mengingatnya? Dalam artian, menyimpan informasi tersebut ke dalam memori (LTM) dengan sejumlah cara (visualized or verbalized). Hmm... a will and a tendency to ignore things.
Terlalu banyak pikiran memang menyesakkan kepala. But hey, bukan itu masalahnya kalau dipikir-pikir. Yang menyesakkan kepala itu bukan pikirannya, melainkan banyaknya 'file' yang aktif melakukan proses kognisi di otak. Kalau pintar meng-on dan off-kan 'file-file' mana yang mau diproses, tentunya ungkapan 'lagi banyak pikiran' nggak akan terucapkan *halah*.
Posting ini bukan dimaksudkan untuk mengkritik (kalau ada yang merasa dikritik ya cepat berubah hehe), ini cuma sebuah wacana hasil proses kognisi di kepala saya and I just wanna share. Seriously, this is the first time I write something called 'boring-hard-topic' which contains theory like this. I feel like I wrote a scientific journal or something. Of course, in a fun way ahaha.
P.S.: call me selfish or whatever, I don't give a damn.