Saturday, 24 March 2012

Life Traveler: Suatu Ketika di Sebuah Perjalanan

by Windy Ariestanty
Penerbit GagasMedia

Another traveling book, or the author called it as a travelogue. Buat saya, buku ini lebih dari sebuah jurnal perjalanan, ini lebih seperti buku perenungan.

Windy awalnya saya tahu adalah seorang editor di sebuah penerbit ternama yang sedang naik daun. Tahu-tahu saya baca dia akan mengeluarkan buku perjalanan, iseng saya cari di toko buku dan menemukannya. Berdasarkan review pembaca perdananya, Windy menulis travel journal-nya dengan apik (yaiyalah, secara editor!). Saya pun tertarik memilikinya. Hingga akhirnya kesampaian dan berhasil menuntaskan buku yang sudah menghipnotis saya itu.

Mulai Indochina, Amerika, Eropa bahkan situs wisata lokal juga tak luput dari kisah perjalanan Windy. Saya suka membaca buku perjalanan dan menurut saya Windy menulis bukunya dengan berbeda. Kisahnya, menurut saya sangat personal. Nggak cuma gimana nyampe ke destinasi yang ditargetkan, bujet yang harus dikeluarkan, tips-tips yang bisa dilakukan tetapi juga atmosfer yang dirasakan, turut serta dituangkan dalam tulisannya.

Kalau saya nih, kebetulan saya melahap habis buku ini waktu long weekend. Saya jadi merasa ikutan kepanasan waktu baca tulisan tentang Vietnam dan negara sekitarnya, kaki jadi kedinginan waktu ngikutin perjalanan Windy di Eropa, deg-degan waktu kejebak macet dan harus ngejar jadwal kereta, sampai ikutan euphoria waktu berhasil sampai di Point Zero di Paris dan yang jadi favorit saya adalah sebuah surat yang ditujukan pada seseorang yang diidolakan Windy. Sebuah surat rindu yang menyentuh dan mengingatkan saya pada almarhum kakek saya yang kurang lebih posisinya sama seperti idola Windy tersebut :] Mau tau siapa idola seorang Windy Ariestanty? Baca sendiri ya! ;]

Saran saya sih, buat yang mau traveling ke Indochina, Eropa (terutama Jerman, Paris, Prague) dan Amerika, buku ini layak banget buat dijadiin pedoman. 

Saya jadi makin semangat nih nabung buat jalan-jalan! :D

Saturday, 3 March 2012

Konon katanya kita ini negara ber-Tuhan

Konon katanya negara kita ini negara dengan pemeluk agama mayoritas tertinggi, yang mana juga dapat diartikan memiliki kepercayaan akan Tuhan pada derajat yang sangat tinggi. Di mana konsekuensi kepercayaan atau keimanan adalah ketakwaan, yang diartikan dengan mengamalkan peraturan yang ditetapkan suatu agama. Dan sekali lagi, hal ini memiliki konsekuensi di mana dosa dan pahala memainkan perannya.

Beberapa waktu terakhir saya banyak bersinggungan dengan media, dalam artian saya lebih sering baca surat kabar, menonton program berita di TV, dan sesekali cek timeline di twitter yang belakangan kebanyakan dipenuhi tweet dari akun berita. Ada yang bilang, kalau mau menatap masa depan dengan optimis, berhenti nonton TV atau baca koran. Alternatifnya adalah baca berita di twitter atau di internet, I think it's just the same. Toh di twitter, stasiun-stasiun TV atau perusahaan surat kabar itu juga punya akun dan mereka secara periodik meng-update berita yang juga ditayangkan di TV atau diterbitkan di media cetak. 

I'm not gonna tell you about which media you should pick, but I'm gonna tell you something worse than that. Yes, it's sensitive. Yes, it's about God and His creation, human.

Dari berita saya seperti melihat sebuah paradoks. Kalau nggak salah, Indonesia ini negara dengan pemeluk agama Islam tertinggi, bahkan melebihi negara asalnya, Saudi Arabia. Saya juga tau kok kalau ada istilah "Islam KTP", toh itu nggak mempengaruhi persepsi saya karena negara ini masih menjadi negara pengekspor jamaah haji terbesar di dunia. Bahkan mau berangkat aja harus nunggu bertahun-tahun, bayangin aja mau ibadah aja harus ngantri. Well, still, Indonesia, is a country with a high degree of religious people I think.

Di masyarakat di sekeliling saya pun saya masih melihat aura religiusitas itu, ibu-ibu yang rajin pengajian, masjid yang aktif berkegiatan, remaja-remaja putri yang semakin lama semakin banyak yang mengenakan jilbab. Bukankah itu merupakan representasi masyarakat yang religius? Bukan?

Saya tahu beberapa kota mulai mengarah ke titik di mana kota tersebut akan menjadi sangat urban, metropolis, modern. Tapi apakah lalu meninggalkan etika yang diajarin agama? Sekolah-sekolah berbasis agama saat ini merupakan sekolah bergengsi yang biayanya jutaan dan banyak tuh orangtua yang bersaing buat nyekolahin anaknya di situ. Tapi apa iya ilmunya kepake? 


photo by Cassandra Niki

Yang pertama, kasus pembantaian orangutan di kebun kelapa sawit di Kalimantan. Saya nggak tau siapa yang harus disalahin, pemilik perusahaan kelapa sawit, pengelola kebun, atau pelaku pembantaian. Saya nggak tau, tapi Tuhan tau. Setau saya orangutan itu binatang paling kalem yang pernah saya tau, saya nggak pernah denger tuh ada orangutan menyerang rumah penduduk atau orangutan memakan hasil panen warga desa. Ibaratnya orang yang kita kenal paling sabar deh, pernah kena marah orang yang sabarnya selangit nggak? If you have, then it might be a worst mistake you've ever done. Hewan apapun deh, kalau teritorinya terganggu/terancam, pasti mereka akan menyerang dan mempertahankannya. Jadi kalau sampai ini hewan paling 'sabar' melakukan serangan, pastinya pihak tersebut udah parah banget mengganggu mereka. Trus kita mau rebutan sama hewan gitu? Sekarang yang makhluk tertinggi itu siapa sih sebenernya?

photo by alamendah

Kedua, terakhir saya denger ada penembakan harimau Sumatra. Demi Tuhan ya, ini harimau udah langka banget pake ditembakin segala. Alesannya karena menyerang area penduduk, klise tau ga?! Berita semacam ini udah sering banget saya denger dan kayak nggak ada upaya perbaikan karena terus terjadi. Let me tell you once again, hewan nggak akan menyerang selama nggak berada dalam kondisi terancam. Hewan paling sensitif sama teritori kekuasaannya, you should know that better if you live near the forests or any animal's habitats. Apalagi ini harimau, hewan buas berdarah dingin yang suka berburu dan paling anti wilayah kekuasaannya diganggu. Udah semestinya kan kita saling menghargai 'wilayah kekuasaan' masing-masing. Hey, hewan juga makhluk Tuhan, aren't they?

photo by pinewswire

Ketiga, membunuh sepertinya menjadi jalan penyelesaian masalah. I still don't get it. Mungkin orang yang dianggap membuat masalah akan lenyap (setelah dibunuh), but don't you know that there're consequences for everything? Tuhan siapa yang menghalalkan pembunuhan untuk menyelesaikan masalah? Kadang masyarakat kita terlalu sensitif untuk hal-hal yang tidak perlu, ditambah lagi tayangan TV yang seperti 'mengajarkan' etika/cara-cara yang nggak baik dalam menyelesaikan masalah atau dalam menjalankan hidup. Well, I'm not Mario Teguh or Oprah or Aa Gym or even Mama Dedeh. Saya melihatnya dari perspektif seorang siswa yang melihat kenyataan dan membandingkannya dengan ilmu agama yang pernah saya dapat sewaktu sekolah. Sekolah saya emang bukan sekolah agama yang mahal, cuma sekolah negeri kok. Tapi di sana saya diajarkan mana yang benar dan mana yang nggak. Ya, menurut agama dan saya yakin nggak ada agama manapun yang mengajarkan pembunuhan sebagai jalan keluar penyelesaian masalah. Dengan catatan, agama yang legal di negara ini.

Keempat, so does with the rape cases. Dilakukan oleh pacar sendiri, orang yang nggak dikenal, tetangga, bahkan keluarga sendiri. Berdasarkan ilmu agama yang pernah saya pelajari waktu sekolah dulu, dari kasus ini saya bisa melihat bahwa kiamat memang sudah dekat. These people, tidakkah menyadari bahwa apa yang dilakukan akan membawa konsekuensi, nggak cuma pada dirinya sendiri tapi juga pihak yang jadi korban? Terlepas dari agama, bukankah negara kita adalah negara dengan tingkat 'tepa slira' yang kental? Di mana tata krama dijunjung tinggi dan keluarga merupakan pihak utama yang bertanggung jawab akan proses pembelajarannya. Atau budaya ini sudah bergeser?

photo by danshenplus

Kelima, manipulasi bahan makanan. Ya ikan dan tahu diformalin, bahan baku basi/expired masih dipakai, penggantian bahan baku dengan bahan yang berbahaya/penyalahgunaan bahan baku, penambahan zat berbahaya pada bahan makanan... Kalau melihat berita yang demikian, saya jadi berpikir, makan apa ya yang nggak berbahaya? Karena kelihatannya semua makanan yang kita makan sehari-hari mengandung zat berbahaya. Ya martabak, ya pempek, ya gorengan, bahkan beras yang jadi konsumsi sehari-hari pun jadi sasaran manipulasi bahan makanan. Mestinya nih, selain ada informasi dari pihak ilmuwan yang menerangkan bahaya zat-zat yang nggak pada tempatnya tersebut, juga ada keterangan dari tokoh agama. Kan ceritanya negara kita ini negara ber-Tuhan, mestinya masyarakat kita takut dong dengan konsekuensi tindakan yang salah, mestinya dosa jadi pertimbangan seseorang buat melakukan suatu tindakan. Kalau emang masyarakat kita adalah masyarakat yang ber-Tuhan, semestinya segala tindakan selalu menengok pada dosa dan pahala. Am I right?

Sebuah celetukan pernah saya denger dari nyokap ketika kasus Kebun Binatang Surabaya lagi panas-panasnya, yang mana korbannya adalah hewan-hewan di sana yang mati satu per satu. "Orang-orang ini dosa lho ya, yang ditanganin ini kan bernyawa." begitu kurang lebih komentar nyokap waktu itu. Nyokap sejujurnya bukan aktivis pemerhati binatang, tapi beliau tau betul hal seperti apa yang sedang dihadapi di sini.

Nyawa. Hidup. Ya, kadang itu yang luput dari perhatian kita. Tindakan yang dilakukan terkadang nggak mempertimbangkan aspek ini, kepentingan orang lain. Bukankah manusia itu makhluk sosial? Mana buktinya kalau manusia memperhatikan kepentingan pihak lain? 

Baik itu makhluk lain ciptaan Tuhan (hewan, tumbuhan) atau manusia sendiri, manusia masih luput bahwa nyawa itu mahal harganya. Mahal dalam arti memiliki konsekuensi yang tinggi ketika seseorang bertanggung jawab terhadapnya. Nggak sepantasnya manusia menentukan nilai sebuah nyawa, kita kan bukan pencipta, kita nggak akan bisa menaksir harganya. Terlalu tinggi dan nggak akan terbeli. Bahkan undang-undang hukum yang mengatur tindakan yang sampai menghilangkan nyawa orang lain pun masih nggak mampu menggambarkan perkiraan harga sebuah nyawa. Konsekuensinya sangat besar, harganya sangat mahal. Manusia tau apa.

Naif saya bilang kalau ada manusia yang berani-beraninya mematok harga sebuah nyawa, playing God. Mungkin Tuhan di atas sana cuma tertawa sinis melihat manusia yang sok-sokan ngasih harga atas sesuatu yang dibuat-Nya. Orangutan atau harimau dianggap menganggu, dibantai aja, habis perkara. Berapa nyawa yang melayang? Sanggupkah manusia membayarnya di kehidupan berikutnya? I doubt it.

Negara kita memang masih terus berkembang, berbagai perubahan memang terus berlangsung. Kemajuan teknologi dan bisnis datang dan pergi di negara ini. Tekanan ekonomi tak terelakkan, kriminalitas di mana-mana, tapi negara tetap harus terus bergerak maju. That's the fact, unfortunately. Ready or not. Tapi apakah dengan begitu melupakan etika sederhana yang diajarkan agama? Melepaskan predikat negara timur yang menjunjung tata krama? We used to be a peace country, because we are eastern. Mungkin kita kalah maju dibanding negara barat, tapi kehidupan selalu tenang dan damai, kan?

photo by webtechman

I think what matters here is education. Baik itu dari segi agama, moral maupun ilmu pengetahuan. Bergantung pada pemerintah? Mau sampai kapan? Educate your self! Beruntunglah sekarang ada internet, perpustakaan meng-update koleksi mereka, akses informasi di mana-mana. Don't waste your time being uneducated. Pendidikan itu nggak cuma ngerti persamaan aljabar, mengerti konsep ekonomi atau mahir berbagai bahasa asing. It is more than that, way more. Banyak hal yang nggak diajarkan di sekolah, hal-hal yang bahkan lebih aplikatif di kehidupan sehari-hari. 

Kalau nalar saya sih, semakin banyak belajar, banyak membaca, the more you educate your self, semakin banyak perspektif yang kita tau, semakin tinggi rasa apresiasi kita terhadap sesama, semakin terbuka wawasan dan pikiran kita which means nggak akan gampang tersinggung, tau bagaimana memperlakukan sesama makhluk Tuhan, tau batasan-batasan yang boleh dilakukan sebagai manusia yang beradab, dan tau pentingnya kedamaian dalam kehidupan.

Saya memang besar dalam keluarga yang cukup religius, saya diajarkan batasan dosa dan peraihan pahala. Tapi saya juga cukup sadar bahwa pada kenyataannya dosa dan pahala akan mengalami situasi yang lebih kompleks. Not only black and white, but also grey. Di mana hal ini akan menjadi lebih sederhana ketika saya tetap berpegang pada kedua hal dasar tersebut. Strict? Nggak juga kok, agama yang saya anut cukup fleksibel dalam mengatur kehidupan umat-Nya. 

I'm not a saint, I'm human. Tempatnya salah dan dosa, right? Khilaf yang dijadikan alasan mungkin masih masuk akal kalau cuma sesekali terjadi, tapi gimana jadinya kalau hilang akal dan menghabiskan 23 nyawa berturut-turut. Apa itu masih disebut khilaf?

Balik lagi ke tulisan saya di atas, konon katanya negara kita ini mewajibkan rakyatnya untuk memeluk suatu agama, untuk memiliki Tuhan dalam hidupnya. Menurut saya, kewajiban ini perlu dikaji ulang, masih banyak masyarakat kita yang nggak mau memiliki Tuhan. Atau nggak percaya mungkin? Who knows.

photo by wikipedia

Nggak perlu lah tau ilmu agama yang terlalu mendalam bak pemuka agama buat paham arti dosa dan pahala. It's simple, really. Karena dua hal ini semestinya diajarkan sejak kecil, tentang salah dan benar. Easy right? Everyone had it when you were a little kid. Percuma juga kalau pendidikan setinggi langit tapi etika nol, yang ada penyalahgunaan ilmu melulu. Atau sebaliknya, agama boleh khatam tapi pendidikan bener-bener buta, jadinya malah pembodohan dan akhirnya terbelakang. Live your life in a balance way, ibaratnya mobil yang sedang melaju pendidikan itu pedal gas, maka agama adalah pedal rem dan kopling yang akan menyesuaikan dan mengendalikan laju kendaraan.

Educate your self and be humane, my friend :]

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin