photo by Cassandra Niki
Yang pertama, kasus pembantaian orangutan di kebun kelapa sawit di Kalimantan. Saya nggak tau siapa yang harus disalahin, pemilik perusahaan kelapa sawit, pengelola kebun, atau pelaku pembantaian. Saya nggak tau, tapi Tuhan tau. Setau saya orangutan itu binatang paling kalem yang pernah saya tau, saya nggak pernah denger tuh ada orangutan menyerang rumah penduduk atau orangutan memakan hasil panen warga desa. Ibaratnya orang yang kita kenal paling sabar deh, pernah kena marah orang yang sabarnya selangit nggak? If you have, then it might be a worst mistake you've ever done. Hewan apapun deh, kalau teritorinya terganggu/terancam, pasti mereka akan menyerang dan mempertahankannya. Jadi kalau sampai ini hewan paling 'sabar' melakukan serangan, pastinya pihak tersebut udah parah banget mengganggu mereka. Trus kita mau rebutan sama hewan gitu? Sekarang yang makhluk tertinggi itu siapa sih sebenernya?
Kedua, terakhir saya denger ada penembakan harimau Sumatra. Demi Tuhan ya, ini harimau udah langka banget pake ditembakin segala. Alesannya karena menyerang area penduduk, klise tau ga?! Berita semacam ini udah sering banget saya denger dan kayak nggak ada upaya perbaikan karena terus terjadi. Let me tell you once again, hewan nggak akan menyerang selama nggak berada dalam kondisi terancam. Hewan paling sensitif sama teritori kekuasaannya, you should know that better if you live near the forests or any animal's habitats. Apalagi ini harimau, hewan buas berdarah dingin yang suka berburu dan paling anti wilayah kekuasaannya diganggu. Udah semestinya kan kita saling menghargai 'wilayah kekuasaan' masing-masing. Hey, hewan juga makhluk Tuhan, aren't they?
Ketiga, membunuh sepertinya menjadi jalan penyelesaian masalah. I still don't get it. Mungkin orang yang dianggap membuat masalah akan lenyap (setelah dibunuh), but don't you know that there're consequences for everything? Tuhan siapa yang menghalalkan pembunuhan untuk menyelesaikan masalah? Kadang masyarakat kita terlalu sensitif untuk hal-hal yang tidak perlu, ditambah lagi tayangan TV yang seperti 'mengajarkan' etika/cara-cara yang nggak baik dalam menyelesaikan masalah atau dalam menjalankan hidup. Well, I'm not Mario Teguh or Oprah or Aa Gym or even Mama Dedeh. Saya melihatnya dari perspektif seorang siswa yang melihat kenyataan dan membandingkannya dengan ilmu agama yang pernah saya dapat sewaktu sekolah. Sekolah saya emang bukan sekolah agama yang mahal, cuma sekolah negeri kok. Tapi di sana saya diajarkan mana yang benar dan mana yang nggak. Ya, menurut agama dan saya yakin nggak ada agama manapun yang mengajarkan pembunuhan sebagai jalan keluar penyelesaian masalah. Dengan catatan, agama yang legal di negara ini.
Keempat, so does with the rape cases. Dilakukan oleh pacar sendiri, orang yang nggak dikenal, tetangga, bahkan keluarga sendiri. Berdasarkan ilmu agama yang pernah saya pelajari waktu sekolah dulu, dari kasus ini saya bisa melihat bahwa kiamat memang sudah dekat. These people, tidakkah menyadari bahwa apa yang dilakukan akan membawa konsekuensi, nggak cuma pada dirinya sendiri tapi juga pihak yang jadi korban? Terlepas dari agama, bukankah negara kita adalah negara dengan tingkat 'tepa slira' yang kental? Di mana tata krama dijunjung tinggi dan keluarga merupakan pihak utama yang bertanggung jawab akan proses pembelajarannya. Atau budaya ini sudah bergeser?
Kelima, manipulasi bahan makanan. Ya ikan dan tahu diformalin, bahan baku basi/expired masih dipakai, penggantian bahan baku dengan bahan yang berbahaya/penyalahgunaan bahan baku, penambahan zat berbahaya pada bahan makanan... Kalau melihat berita yang demikian, saya jadi berpikir, makan apa ya yang nggak berbahaya? Karena kelihatannya semua makanan yang kita makan sehari-hari mengandung zat berbahaya. Ya martabak, ya pempek, ya gorengan, bahkan beras yang jadi konsumsi sehari-hari pun jadi sasaran manipulasi bahan makanan. Mestinya nih, selain ada informasi dari pihak ilmuwan yang menerangkan bahaya zat-zat yang nggak pada tempatnya tersebut, juga ada keterangan dari tokoh agama. Kan ceritanya negara kita ini negara ber-Tuhan, mestinya masyarakat kita takut dong dengan konsekuensi tindakan yang salah, mestinya dosa jadi pertimbangan seseorang buat melakukan suatu tindakan. Kalau emang masyarakat kita adalah masyarakat yang ber-Tuhan, semestinya segala tindakan selalu menengok pada dosa dan pahala. Am I right?
Sebuah celetukan pernah saya denger dari nyokap ketika kasus Kebun Binatang Surabaya lagi panas-panasnya, yang mana korbannya adalah hewan-hewan di sana yang mati satu per satu. "Orang-orang ini dosa lho ya, yang ditanganin ini kan bernyawa." begitu kurang lebih komentar nyokap waktu itu. Nyokap sejujurnya bukan aktivis pemerhati binatang, tapi beliau tau betul hal seperti apa yang sedang dihadapi di sini.
Nyawa. Hidup. Ya, kadang itu yang luput dari perhatian kita. Tindakan yang dilakukan terkadang nggak mempertimbangkan aspek ini, kepentingan orang lain. Bukankah manusia itu makhluk sosial? Mana buktinya kalau manusia memperhatikan kepentingan pihak lain?
Baik itu makhluk lain ciptaan Tuhan (hewan, tumbuhan) atau manusia sendiri, manusia masih luput bahwa nyawa itu mahal harganya. Mahal dalam arti memiliki konsekuensi yang tinggi ketika seseorang bertanggung jawab terhadapnya. Nggak sepantasnya manusia menentukan nilai sebuah nyawa, kita kan bukan pencipta, kita nggak akan bisa menaksir harganya. Terlalu tinggi dan nggak akan terbeli. Bahkan undang-undang hukum yang mengatur tindakan yang sampai menghilangkan nyawa orang lain pun masih nggak mampu menggambarkan perkiraan harga sebuah nyawa. Konsekuensinya sangat besar, harganya sangat mahal. Manusia tau apa.
Naif saya bilang kalau ada manusia yang berani-beraninya mematok harga sebuah nyawa, playing God. Mungkin Tuhan di atas sana cuma tertawa sinis melihat manusia yang sok-sokan ngasih harga atas sesuatu yang dibuat-Nya. Orangutan atau harimau dianggap menganggu, dibantai aja, habis perkara. Berapa nyawa yang melayang? Sanggupkah manusia membayarnya di kehidupan berikutnya? I doubt it.
Negara kita memang masih terus berkembang, berbagai perubahan memang terus berlangsung. Kemajuan teknologi dan bisnis datang dan pergi di negara ini. Tekanan ekonomi tak terelakkan, kriminalitas di mana-mana, tapi negara tetap harus terus bergerak maju. That's the fact, unfortunately. Ready or not. Tapi apakah dengan begitu melupakan etika sederhana yang diajarkan agama? Melepaskan predikat negara timur yang menjunjung tata krama? We used to be a peace country, because we are eastern. Mungkin kita kalah maju dibanding negara barat, tapi kehidupan selalu tenang dan damai, kan?
I think what matters here is education. Baik itu dari segi agama, moral maupun ilmu pengetahuan. Bergantung pada pemerintah? Mau sampai kapan? Educate your self! Beruntunglah sekarang ada internet, perpustakaan meng-update koleksi mereka, akses informasi di mana-mana. Don't waste your time being uneducated. Pendidikan itu nggak cuma ngerti persamaan aljabar, mengerti konsep ekonomi atau mahir berbagai bahasa asing. It is more than that, way more. Banyak hal yang nggak diajarkan di sekolah, hal-hal yang bahkan lebih aplikatif di kehidupan sehari-hari.
Kalau nalar saya sih, semakin banyak belajar, banyak membaca, the more you educate your self, semakin banyak perspektif yang kita tau, semakin tinggi rasa apresiasi kita terhadap sesama, semakin terbuka wawasan dan pikiran kita which means nggak akan gampang tersinggung, tau bagaimana memperlakukan sesama makhluk Tuhan, tau batasan-batasan yang boleh dilakukan sebagai manusia yang beradab, dan tau pentingnya kedamaian dalam kehidupan.
Saya memang besar dalam keluarga yang cukup religius, saya diajarkan batasan dosa dan peraihan pahala. Tapi saya juga cukup sadar bahwa pada kenyataannya dosa dan pahala akan mengalami situasi yang lebih kompleks. Not only black and white, but also grey. Di mana hal ini akan menjadi lebih sederhana ketika saya tetap berpegang pada kedua hal dasar tersebut. Strict? Nggak juga kok, agama yang saya anut cukup fleksibel dalam mengatur kehidupan umat-Nya.
I'm not a saint, I'm human. Tempatnya salah dan dosa, right? Khilaf yang dijadikan alasan mungkin masih masuk akal kalau cuma sesekali terjadi, tapi gimana jadinya kalau hilang akal dan menghabiskan 23 nyawa berturut-turut. Apa itu masih disebut khilaf?
Balik lagi ke tulisan saya di atas, konon katanya negara kita ini mewajibkan rakyatnya untuk memeluk suatu agama, untuk memiliki Tuhan dalam hidupnya. Menurut saya, kewajiban ini perlu dikaji ulang, masih banyak masyarakat kita yang nggak mau memiliki Tuhan. Atau nggak percaya mungkin? Who knows.
Nggak perlu lah tau ilmu agama yang terlalu mendalam bak pemuka agama buat paham arti dosa dan pahala. It's simple, really. Karena dua hal ini semestinya diajarkan sejak kecil, tentang salah dan benar. Easy right? Everyone had it when you were a little kid. Percuma juga kalau pendidikan setinggi langit tapi etika nol, yang ada penyalahgunaan ilmu melulu. Atau sebaliknya, agama boleh khatam tapi pendidikan bener-bener buta, jadinya malah pembodohan dan akhirnya terbelakang. Live your life in a balance way, ibaratnya mobil yang sedang melaju pendidikan itu pedal gas, maka agama adalah pedal rem dan kopling yang akan menyesuaikan dan mengendalikan laju kendaraan.
Educate your self and be humane, my friend :]