Saturday, 13 June 2020

MINIMALISM & SUSTAINABILITY

minimalism sustainability
Saya punya tendensi untuk belanja impulsif yang berakhir dengan penimbunan barang. Memuaskan hasrat belanja karena merasa ada uang adalah jebakan yang sesungguhnya
.

Saya dibesarkan dengan sistem rem dan gas ketika dikaitkan tentang pengeluaran keuangan atau pemenuhan keinginan. Mama saya nggak pernah melarang kalau saya ingin beli, selama mampu, akan dibelikan. Di sisi lain, papa saya jadi barrier yang akan membuat saya berpikir ulang; manfaatnya apa?

Saya suka merasa tertohok kalau ditanya gitu sama papa karena alesan yang bisa saya katakan jatuhnya akan selalu superficial:

Karena si A juga pakai...
Biar bisa dipamerin di sekolah...
Gambarnya lucu...

Sampai papa saya hapal dan nggak perlu ditanya lagi tiap saya punya barang baru yang "nggak penting". Pasti alesannya nggak jauh-jauh dari itu 😅

Ketika awal dulu ketemu suami, saya suka kesel karena selalu ditanya "Buat apa, Dek?" setiap mau beli barang (kecuali makeup). Meski dia nggak tanya lagi lebih jauh, tapi saya merasa papa saya lagi ngikutin juga 😑

Setelah menikah dan berkenalan dengan berbagai pengeluaran rumah tangga, hasrat belanja saya nggak kunjung membaik. Beli-beli terus tanpa berpikir akan seberapa terpakai barangnya. Mostly produk kosmetik, nggak jarang sampai expired duluan karena rencananya mau difoto dulu buat review tapi nunggu produk yang lama habis. Kelamaan nunggu 😭

Terus mulai kenalan sama akun-akun financial planner dan belajar tentang pengelolaan pengeluaran. Rational spending over impulsivity.

Sejujurnya saya punya 'guardian angel' hasil didikan papa saya: rasa guilty yang muncul ketika melihat tumpukan barang yang cuma beberapa kali pakai trus teronggok di pojokan, atau bahkan belum dibuka segelnya udah keburu expired.

Rasa guilty ini bertahun-tahun saya tekan dan kayaknya dia berkonspirasi untuk membuat saya sadar: your habit is not healthy.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin